Story #6
Salah satu esay yang pernah
kubuat berjudul “menggugat damai. Kesadaran orang saat ini untuk peka terhadapa
lingkungan sosial semakin berkurang. Seiring berkembangnya peradaban dan era digital yang terus mengkapitalisasi isi
kepala manusia tak bisa dihindari. Permasalahan di dunia maya saat ini
membutuhkan counter-counter positif untuk menetralisir keadaan yang sealu saja
panas.
“Keluarganesia” esay yang kubuat
dua bulan yang lalu sudah dimuat dalam sebuah buku tentang perdamaian yang
diterbitkan oleh kementrian pendidikan. Perdamaian menjadi tema penting dunia
saat ini, usaha-usaha untuk melakukan sebuah perubahan mind-set manusia yang sudah terkonstruk oleh pemahaman global
menjadi Pr bersama warga dunia. Perbedaan yang kita miliki saat ini merupakan
anugerah yang diberikan tuhan untuk dijaga dan dilestarikan bukan malah saling
menghancurkan satu sama lain. Bayangkan saja ketika kita manusia sama semua,
adakah sesuatu yang special ? tidak aka nada sama sekali. Kenyataan hidup di
negara Pluralism salah satunya Indonesia saat ini menjadi satu hal yang sangat
genting, permasalahan agama yang terus saja berkecamuk, diskriminasi ras, suku,
yang terus saja memakan korban. Alangkah tidak etisnya kita ketika menyebut dan
membanggakan diri sebagai negara yang damai.
Jum’at 16 November 2018, bertepatan dengan
Hari Toleransi sedunia Aku ikut acara Peace camp. Salah satu acara yang
diselenggarakan oleh Peace generation sebagai langkah nyata dalam menyebarkan
virus perdamaian di bumi. Menjawab masalah dengan solusi adalah sesuatu yang
aku tangkap dari acara ini. 3 hari bersama perbedaan membuatku semakin mengerti
arti keluarga sesungguhnya, saling menyamakan pendapat dan membunuh prasangka
yang selalu saja menjadi momok dalam perbedaan.
Aku banyak belajar tentang agama
Kristen dan aku juga banyak belajar tentang bagaiman bersikap sebagai muslim
yang menghargai keberagaman. Kristen dan islam agama dengan pemeluk terbesar
didunia sekaligus agama yang paling dekat seperti abang dan adek tapi yang
disayangkan adalah kedekatan yang mendasari kedua agama ini selalu saja menjadi
permasalahan dunia. Membetulkan
prasangka dan mengenal lebih dalam satu sama lain adalah cara paling efektif
untuk berteman dan berdamai. Kita saling berbagi cerita dan bersuka cita dalam
camp ini, ingin sekali semua orang merasakan kehangatan yang aku rasakan saat
itu.
12 nilai perdamaian sebagai
pondasi dari gerakan ini membuatku sangat tergerak untuk ikut menjadi bagian
dari virus perdamaian. Jam 10.00 aku berangkat ke alun-alun bandung untuk melakuan
sebuah kegiatan kampanye 12 nilai perdamaian, merasakan langsung menjadi
seorang actor yang menginfluance orang-orang membuatku sangat tertantang.
Menemukan pergeseran kemanusiaan yang terjadi saat ini membuatku sesak
sekaligus miris. Prasangka yang muncul dari raut muka orang yang kutemui
seperti mengisahkan satu hal yang membuat mereka berkata tidak untuk hanya
sekedar berbicara.
Saya Jujun Junaedi dari
Pangandaran saya senang ikut peace camp, semoga semakin banyak temen-temen dari
pangandaran yang merasakan pengalaman luar biasa mengenal Indonesia dan dunia. Setelah
mengikuti kegiatan ini, terasa seperti terlahir kembali menjadi manusia baru.
Pengalaman menyenangkan saat kegiatan tidak bisa dilupakan. Keinginan untuk
melakukan lagi, lagi dan lagi untuk saling memahami satu sama lain. Aku sadar
ruang-ruang aktualisasi perbedaan seperti ini harus dirasakan semua orang,
daerah-daerah pelosok yang masih kental dengan
rasisme, dan daerah dengan bekas luka yang mendarah daging sampai saat
ini harus mengalami secara langsung kalau perbedaan itu baik. Harapan saya ada
output yang baik salah satunya bisa menjadi seorang agen perdamaian yang terus
aktif menyuarakan perdamaian di daerah masing-masing, sehingga Indonesia damai
bukan hanya kiasan belaka tapi kenyataan yang sebenarnya.
Comments
Post a Comment